Keluhan bertubi-tubi datang. Orang tua mengadu tentang besarnya biaya sekolah negeri dan swasta yang sama-sama “ganas” melakukan pungutan.
Keresahan
orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Meski Indonesia sudah
merdeka lebih dari 60 tahun, belum pernah masalah pendidikan ditangani
serius. Belum selesai soal ujian, muncu soal buku, kurikulum, merosotnya
mutu, dan seterusnya.
Memang
setelah reformasi dibanding era sebelumnya, ada langkah maju setapak.
Dulu baru sebatas penegasan pentingnya pendidikan (pengembangan SDM),
sekarang penambhan alokasi 20 persen dari total anggaran nasional.
Sampai tahun ini, baru terealisasi 8 persen. Pro dan kontra masih riuh,
di antaranya daya dukung manajemen Depdiknas.
Oleh karena itu, tak perlu kaget jika Jepang mengalokasikan anggaran pendidikan
100 kali lipat dibanding Indonesia. Sebaliknya, harus kaget ketika
Banglades, negara kecil dan miskin, mengalokasikan anggaran 2,9 persen
dari anggaran nasional mereka, sementara di era bersamaan hanya 1,4
persen.
Pendidikan
adalah tugas masyarakat dan pemerintah. Ketika praksis pendidikan tidak
lagi dominan sebagai kegiatan sosial tetapi bisnis, hukum dagang “ada
rupa ada harga” berkembang subur. Menyelenggarakan lembaga pendidikan
serupa lembaga bisnis. Memang dari sana pula lembaga pendidikan swasta
berkembang.
Ketika
pemerintah juga melakukan praktik yang sama, timbul pertanyaan, negeri
dan swasta kok sama? Lembaga-lembaga sekolah negeri ikut “ganas”
melakukan berbagai pungutan. Parodi pendidikan hanya menghasilkan air
mata memperoleh pembenaran.
Anggaran
cukup bukan segala-galanya. Ketersediaan anggaran baru memenuhi salah
satu dari sekian persyaratan praksis pendidikan. Namun, ketersediaan
anggaran mencerminkan seriusnya perhatian, keberanian memberikan
prioritas, dan sesuatu yang tidak selesai hanya jadi wacana
berkepanjangan.
0 komentar:
Posting Komentar